ALASAN HARUS MUDIK


Mengapa Mesti Mudik Lebaran…? PDF Cetak Email
Oleh : Masita

Dalam 10 tahun terakhir kata mudik menjadi pembicaraan hangat terutama menjelang Lebaran baik bagi masyarakat kota maupun masyarakat desa. Sekarang timbul pertanyaan apa sebenarnya yang dimaksud dengan mudik?.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “mudik adalah berlayar ke hulu, pulang kampung/desa” (Daryanto SS : Kamus B. Indonesia Lengkap). Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan mudik adalah merupakan suatu upaya untuk kembali berlayar ke hulu atau pulang kampung setelah beberapa lama berada di hilir atau di kota. Mengapa mesti mudik pada saat Lebaran?.

Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa melihat kepada komposisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar penganut agama Islam. Bagi penganut agama Islam Lebaran Idul Fitri merupakan salah satu hari besar keagamaan yang dalam tradisinya sangat baik apabila dirayakan bersama-sama dengan keluarga besar untuk saling bermaaf-maafan diantara mereka, oleh karena itu bagi masyarakat urban/kota memiliki persepsi, tiada hari yang lebih baik dan lebih indah untuk kembali ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga kecuali pada saat Lebaran.

Mudik Lebaran bukan hanya milik warga kota yang berkantong tebal akan tetapi juga milik kaum pinggiran yang mencari rezeki di kota, hal ini dapat kita saksikan dari banyaknya pemudik yang mengenderai becak mesin, bajaj untuk menempuh perjalanan jauh menuju kampung halaman.

Tingginya minat pemudik untuk merayakan Lebaran atau Idul Fitri di kampung halaman juga dipengaruhi oleh pesan moral yang ditanamkan para orang tua kepada anak-anaknya apabila hendak pergi merantau baik untuk tujuan pendidikan maupun untuk merantau mencari kehidupan yang lebih baik, para orang tua biasanya tidak lupa menanamkan pesan moral kepada si anak agar apabila berhasil kelak dalam mengarungi kerasnya kehidupan kota tidak lupa dengan kampung halaman tempat orang tua membesarkannya, Sejauh kaki merantau, jangan sekali-kali lupa dengan kampung halaman. Fenomena ini digambarkan dengan legenda seperti Sampuraga di Mandailing Natal, Malin Kundang di Sumatera Barat, Amat Rahmanyang di Aceh, apabila lupa dengan kampung halaman berarti juga akan lupa dengan kedua orang tua yang senantiasa setiap saat menanti kedatangan anaknya.

Dengan falsafah hidup yang diwariskan secara turun-temurun ini, ikatan bathin antara warga perantau dengan masyarakat di kampung halaman tidak akan mudah terputus walaupun mereka sudah lama meninggalkan daerah asal, panggilan jiwa ke kampung halaman bersama sanak keluarga senantiasa mengiang untuk melihat kembali tempat permainan dikala usia kanak-kanak, berjumpa dengan kawan lama ketika usia dini, melepas rindu dengan sanak keluarga dan yang terpenting adalah memohon maaf dan sembah sujud dihadapan kedua ibu/bapak.

Suasana yang paling tepat untuk itu adalah di kala Idul Fitri tiba karena rekan-rekan perantau yang lain biasanya banyak yang pulang kampung sehingga menjadi moment yang tepat untuk berjumpa dan mengenang kembali saat-saat kecil bercengkrama nan serba lucu dan indah untuk dikenang.

Tantangan dan Risiko Mudik Lebaran Menuju Kampung Halaman

Tantangan yang dihadapi para pemudik menuju kampung halaman sangat besar sekali, tidak berlebihan dikatakan pertarungan hidup dan mati terutama bagi pemudik yang menggunakan becak, bajaj atau kenderaan roda dua.

Bagi pemudik yang menggunakan angkutan umum, walaupun terminal bus, stasion kereta api, bandara dan pelabuhan sebagai alur mudik penuh sesak dengan lautan manusia tidak menyurutkan niat pemudik menuju kampung halaman. Bagi pemudik yang memiliki kenderaan pribadi tentu tidak perlu berdesak-desak di terminal atau stasiun kereta api, akan tetapi perlu fisik yang prima untuk mengemudikan kenderaan selama dalam perjalanan yang cenderung mengalami peningkatan arus lalu lintas.

Tingginya volume kenderaan yang memadati ruas-ruas jalan menyebabkan intensitas kecelakaan tidak dapat dihindarkan walaupun pihak kepolisian sudah melakukan pengaturan lalu lintas.

Selain dari risiko keselamatan yang dihadapi pemudik, apabila dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan juga memerlukan rupiah yang tidak sedikit, penghasilan satu tahun habis untuk merayakan Idul Fitri. Demikian mitos yang dianut masyarakat pemudik di beberapa daerah.

Divisi Penelitian TVOne mengemukakan, setiap pemudik rata-rata menghabiskan uang 4 Juta rupiah. Angka ini tentu bukan angka yang kecil bagi mereka yang berprofesi sebagai buruh, pekerja perusahaan, pegawai negeri pada level menengah ke bawah yang tinggal di daerah urban atau kota. Namun demikian, demi sebuah kepuasan bathin merayakan Idul Fitri di kampung halaman mereka rela merogoh kantongnya lebih dalam.

Resiko lain yang mungkin dialami pemudik selama berada di kampung halaman adalah keselamatan rumah yang ditinggalkan, karena acap kali ditinggalkan dalam keadaan kosong melompong tanpa penjaga sehingga apabila dimasuki maling akan lebih leluasa mengambil barang-barang yang ada di dalamnya.

“Menghadapi mudik Hari Raya Idul Fitri 1431 H, Pemko Medan melalui Dishub telah menyiapkan armada bus untuk pengangkutan mudik Lebaran” (Analisa: 30/8-2010). Tingginya intensitas warga kota yang mudik Lebaran dapat dilihat pada saat Lebaran tahun 1430 H yang lalu di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Ujung Pandang dan beberapa kota besar lainnya lumpuh dari aktivitas perekonomian, vakum dari aktivitas perkantoran dan sepi dari hingar bingar lalu lintas. Fenomena ini menunjukkan kepadatan penduduk ibukota termasuk beberapa kota-kota besar lainnya banyak dihuni warga yang berasal dari daerah yang mengais rezeki di kota tersebut.

Penutup

Umumnya alasan kuat para pemudik merayakan Idul Fitri di kampung halaman adalah untuk dapat secara langsung memohon maaf kepada kedua ibu/bapak apabila masih ada, kemudian bersua dengan sanak keluarga, teman sepermainan semasa kanak-kanak, dan melihat kembali kampung halaman nan lama ditinggalkan, sehingga dapat menumbuhkan semangat baru, ide-ide baru, motivasi baru untuk bekerja lebih giat pada hari-hari yang akan datang. Kesibukan kota yang pengat, frustrasi akibat kemacetan lalu lintas, persaingan hidup yang kian dinamis dapat dilupakan selama berada di kampung halaman.

Informasi tentang pemanasan global, korupsi, konflik Malaysia – RI, masalah Bank Century, kasus Susno Duadji sementara waktu dapat dilupakan karena publikasi surat kabar dan media lainnya jauh dari pantauan akibat kesibukan silaturrahmi. Selama berada di kampung halaman fikiran dapat dikosongkan dari aktivitas profesi, pekerjaan rutin, yang ada hanya canda, tawa, ria dan silaturrahmi yang dapat memberikan ketenangan bathin yang tidak dapat diperoleh dalam suasana kehidupan kota yang kian dinamis.

Idul Fitri dapat juga dijadikan momentum awal kebangkitan untuk meraih prestasi dan karier yang lebih baik dimasa yang akan datang. Sesungguhnya tiada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan, justru itu moment yang tepat untuk menganalisa diri, intropeksi diri sebagai cermin untuk melihat jati diri yang sesungguhnya adalah pada hari yang fitri ini, kemudian memulai hidup yang lebih jernih, suci dengan meninggalkan kesalahan, kesombongan dan dosa-dosa yang diperbuat sebelumnya.

Semoga mudik Lebaran tahun 1431 H ini lebih baik dari Lebaran-Lebaran sebelumnya. Amiiin…***

Penulis adalah Ibu Rumah Tangga berdomisili di Kota Meda

Sumber:http://www.analisadaily.com

Tulisan ini dipublikasikan di Tidak Dikategorikan. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar